Cerita Soal “Cerita-Cerita Jakarta”

Ayu Medina
3 min readJun 23, 2021

--

Halaman depan ‘Cerita-Cerita Jakarta’. Foto dari dokumentasi pribadi.

“Bagaimana Jakarta akan bercerita tentang dirinya?”
— Catatan Editor

Seringkali kita bercerita soal sesama manusia karena kompleksitasnya. Tempat jadi latar, sebagaimana buku pelajaran Bahasa Indonesia sering menyebut latar tempat jadi pendukung cerita. Padahal untuk orang-orang yang punya relasi erat dengan ruang, sebuah tempat lumrah jadi kisah utama dan semua momen di dalamnya adalah pendukung untuk mengeratkan relasi tersebut. Saya pun merasa dekat (secara emosional) dengan sejumlah tempat yang sering saya kunjungi, tapi mungkin lebih baik itu dibahas di tulisan lain.

Kumpulan cerpen ‘Cerita-Cerita Jakarta’ jadi salah satu karya sastra yang mengangkat tempat jadi ‘pemeran utama’. Judul itu harfiah; Jakarta jadi benang merah karena seluruh cerita di dalam buku rilisan POST Press ini berlatar di sana. Sepuluh cerpen dari sepuluh penulis yang diedit oleh Maesy Ang dan Teddy W. Kusuma hadir dengan cukup dinamis. Kita bisa melihat cerita dari gang kecil, stasiun KRL Commuter Line, Dufan, dan sudut-sudut kota lainnya dengan kesan yang berbeda-beda. Ada yang membuat pembaca senyum sendiri, ada pula yang membuat hening sesaat. Bicara soal destinasi khas Jakarta, di sini tidak ada cerita tentang gemerlapnya SCBD atau tongkrongan legendaris di Selatan: PIM. Sama sekali bukan masalah untuk saya, tapi bisa jadi ada pembaca lain yang punya ekspektasi soal itu. Memang bisa kita akui, sejuta cerita pun belum cukup untuk menggambarkan semua yang bisa terjadi di Jakarta.

Ada tiga cerita yang jadi favorit saya. Pertama adalah ‘Suatu Hari dalam Kehidupan Seorang Warga Depok yang Pergi ke Jakarta’ karya Yusi Avianto Pareanom. Cerpen ini tidak dramatis, tapi berhasil mendekati pembaca berkat lokasi-lokasi yang diangkat. Jika orang-orang yang pernah tinggal di Jakarta bisa jeli mengamati keseharian mereka dan mampu mengubah itu jadi narasi, mereka bisa membuat cerpen serupa bermodal pengalaman pribadi. Bicara soal Depok-Jakarta, tentu saja ada latar stasiun KRL Commuter Line.

Kedua adalah ‘Pengakuan Teater Palsu’ dari Afrizal Malna. Cerita ini berlokasi di komplek Taman Ismail Marzuki. Seluruh penggambaran TIM dan Cikini di sini cukup apik, bahkan terbayang di kepala saya bahwa ini layak untuk diangkat jadi film pendek. Karakter utama bisa tampil dengan sangat teatrikal padahal hanya dari kata-kata.

Ketiga adalah cerita yang mulanya tidak saya duga bisa jadi favorit, yaitu ‘Buyan’ buatan utiuts. Ternyata kisah Jakarta di masa depan bisa menarik juga ketika selama ini saya pikir narasi soal tempat selalu identik akan waktu lampau. Pada cerpen ini, setengah Jakarta sedang tenggelam.

Judul-judul lain yang tidak saya sebut di atas bukan berarti buruk, namun ada dua faktor subjektif: ada cerita tabu dan kebetulan saya bukan penggemar gaya tulisan seperti itu, serta ada tempat-tempat spesifik namun tidak dekat dengan kehidupan saya. Padahal mayoritas punya alur yang bagus dan penyampaian tentang masing-masing tempat sudah jelas.

Secara keseluruhan, bagi pembaca yang pernah hidup di Jakarta pasti bisa dekat dengan minimal satu cerpen dari sini. Buku ini juga bisa jadi referensi yang baik jika ingin mencari tahu bagaimana cara mengangkat suatu tempat jadi ‘bintang’ dalam fiksi. Sedikit tambahan, catatan editor benar-benar pas seperti tour guide yang siap menemani pembaca keliling Jakarta.

Buku ini saya beli dari Kineruku, tempat yang biasa saya kunjungi di Bandung. Berhubung sudah setahun lebih tutup karena pandemi, jadilah saya membawa suasana Kineruku ke rumah. Foto dari dokumentasi pribadi.
  • 23 Juni 2021

--

--